Sebagaiseorang sahabat yang sangat selektif dalam menerima dan mengamalkan Hadis, Ibnu Umar berkepentingan untuk mengkroscek secara langsung kebenaran kabar yang beredar di masyarakat Madinah. Memang, Rasul mengajarkan tata cara buang hajat dengan duduk serendah mungkin untuk menghindari percikan najis.

Imam Yahya bin Yahya menceritakan percakapan pertamanya dengan guru tercintanya Imam Malik bin Anas RA 711 M-795 M/90 H-174 H pendiri Mazhab Maliki. Ia mengisahkan percakapan pertamanya dengan Imam Malik RA yang memberikan kesan bagi perjalanan intelektualitasnya. Imam Yahya bin Yahya wafat 848 M adalah ulama asal Andalusia yang berguru kepada Imam Malik di Madinah. Ia kemudian membawa dan mengembangkan mazhab Maliki di Andalusia. Ia juga periwayat Kitab Al-Muwattha karya Imam Malik. Ia merupakan ulama besar generasi awal Mazhab Maliki. "Siapa namamu, wahai anak muda?" tanya Imam Malik RA saat Imam Yahya remaja menghadiri pertama majelis ilmu gurunya untuk menuntut ilmu. "Semoga Allah memuliakanmu wahai guruku. Namaku Yahya," jawabnya. Ia saat itu adalah santri termuda Imam Malik RA. "Semoga Allah menghidupkan hatimu. Kamu harus sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah yang dapat membakar semangatmu dalam menuntut ilmu dan mengalihkan perhatianmu dari aktivitas lainnya," kata Imam Malik RA. Imam Malik RA memulai kisahnya. “Suatu hari seorang remaja asal negeri Syam tiba di Kota Madinah. Kurang lebih seusia denganmu. Ia menuntut ilmu kepada kami dengan giat dan sungguh-sungguh. Dalam usia yang begitu belia Allah memanggilnya. Ia wafat. Aku belum pernah melihat kondisi jenazah yang begitu eloknya di Kota Madinah ini.” Almarhum tidak lain adalah salah seorang wali Allah. Ulama Madinah berkumpul untuk menshalatkan jenazahnya. Masyarakat pun ikut berduyun untuk mengantarkan jenazahnya ke pemakaman. Ketika tahu akan antusias dan pernghormatan ulama dan masyarakat yang begitu besar, gubernur Madinah menahan pelaksanaan shalat jenazahnya. “Pilihlah orang yang paling kalian sukai,” perintah gubernur. Ulama Madinah mengajukan nama Imam Rabiah. Imam Rabiah, Zaid bin Aslam, Yahya bin Sa’id, Ibnu Syihab, termasuk ulama yang paling dekat dengan mereka, Muhammad Ibnu Munkadir, Shafwan bin Salim, Abu Hazim, dan ulama terkemuka lainnya menurunkan jenazah ke liang lahat. Imam Rabi’ah menyusun batu bata pada lahatnya. Mereka memberikan batu bata tersebut kepadanya. Tiga hari setelah pemakamannya, salah seorang yang terkenal sebagai wali Allah di Kota Madinah, kata Imam Malik kepada Yahya remaja, bermimpi melihat almarhum sebagai remaja yang berpenampilan dan berpakaian putih elok sekali. Almarhum mengenakan serban hijau dan menunggang kuda kelabu yang sangat bagus. Ia turun dari langit dan menuju kepada sang wali. Ia mengawali percakapan dengan salam. “Derajatku yang tinggi ini bukan didapat dengan berkah ilmu,” kata remaja belia tersebut. “Lalu apa yang mengantarkanmu ke derajat yang begitu mulia ini?” tanya wali Allah. “Allah memberikanku satu derajat yang begitu tinggi di surga atas setiap bab dalam satu disiplin ilmu yang kupelajari. Namun demikian, derajat-derajat yang begitu tinggi itu tetap tidak membuatku sederajat dengan para ulama. Tetapi Allah yang maha pemurah berkata kepada malaikat, Tambahkan derajat itu kepada ahli waris para nabiku. Aku telah menetapkan dalam diri-Ku bahwa siapa saja yang wafat dalam kondisi memahami sunnah-Ku dan sunnah para nabi-Ku, atau dalam keadaan menuntut ilmu terkait dengannya, niscaya Kukumpulkan mereka dalam satu derajat yang sama.’” “Allah menganugerahkan kepadaku hingga aku meraih derajat para ulama. Aku dan Rasulullah hanya terpaut dua derajat. Pertama adalah derajat di mana ia bersama para nabi tinggal. Kedua adalah derajat para sahabat Nabi Muhammad SAW dan sahabat para nabi yang menjadi pengikut nabi-nabi di zamannya masing-masing. Di bawah itu adalah derajat ulama dan para santri mereka.” Allah menjalankanku hingga ke tengah halaqah mereka. Mereka menyambut dengan antusian, “marhaban, marhaban.” “Bagaimana Allah memberikan tambahan derajat-Nya untukmu?” tanya wali Allah. “Allah berjanji untuk mengumpulkanku bersama para nabi sebagaimana kusaksikan mereka pada rombongan yang sama. Aku bersama mereka hingga hari kiamat tiba. Bila hari kiamat yang dijanjikan tiba, Allah berkata, Wahai sekalian ulama. Inilah surgaku. Kuizinkan surga ini untuk kalian. Inilah ridha-Ku. Aku telah meridhai kalian. Jangan kalian masuk surga terlebih dahulu sebelum berdiam untuk memberikan syafaat kepada siapa saja yang kalian kehendaki. Aku juga memberikan mandat agar kalian memberikan syafaat kepada mereka yang meminta syafaat kalian agar aku dapat memperlihatkan kepada semua hamba-Ku betapa tinggi kemuliaan dan kedudukan kalian,’” jawab remaja tersebut. Ketika pagi hari, orang yang dikenal wali Allah ini terjaga. Ia menceritakan mimpinya hingga akhirnya kabar tersebut menyebar luas ke seantero Kota Madinah. Kepada Yahya remaja, Imam Malik RA mengatakan, “Dulu di Kota Madinah ini terdapat sekelompok santri-santri yang gemar menuntut ilmu. Seiring waktu semangat mereka dalam menuntut ilmu mengendur hingga berhenti sama sekali. Setelah mendengar kabar dari wali Allah tersebut, mereka kembali menuntut ilmu dengan semangat dan sungguh-sungguh. Mereka itu kemudian yang kamu kenal hari ini sebagai ulama-ulama terkemuka di Kota Madinah. Wahai Yahya, bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini.” * Kisah ini diangkat oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya Indonesia, Al-Haramain Jaya tanpa tahun, halaman 63-64. Wallahu a’lam. Alhafiz Kurniawan Semuameriwayatkan kisah ini melalui jalan Hammam bin Yahya, dari al-Qasim bin Abdul Wahid al-Makki, dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhu. Ibnu 'Aqil seorang yang hasan haditsnya. Al-Qasim bin Abdul Wahid dihukumi tsiqah hanya oleh Ibnu Hibban. Sementara itu, Abu Hatim ar-Razi mengatakan tentangnya
Para ulama dari generasi terdahulu salaf menunjukkan contoh yang luar biasa dalam mencari ilmu. Di tengah keterbatasan, mereka tidak menyerah. Tekadnya tidak tergoyahkan untuk belajar agama Islam. Seperti dinukil dari kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam Bukhari, kesungguhan dalam menuntut ilmu ditunjukkan Jabir bin Abdullah. Pada suatu kali, ia amat tertarik pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan suasana Padang Mahsyar. Ahli hadis terkemuka dari abad pertama Hijriyah itu pun mencoba menelusuri kebenaran sabda Rasulullah SAW itu. Sayangnya, sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis tersebut telah hijrah dari Jazirah Arab dan menetap di Syam kini Suriah. Padahal, Jabir menetap di Hijaz. Bagaimanapun, periwayat hadis itu tak patah semangat. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya. Jarak antara Hijaz dan Syam yang begitu jauh, tak menciutkan tekadnya untuk menelisik kebenaran hadis itu. Jabir lalu membeli sebuah unta. Ia pun mengarungi ganasnya padang pasir demi mencapai Syam. Perjalanan menuju kota itu tak cukup sepekan. Ia menghabiskan waktu selama satu bulan untuk bertemu sahabat Nabi SAW yang meriwayatkan hadis yang ingin diketahuinya. Jabir adalah satu dari sekian banyak contoh, betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Dalam hal ini, sang alim merasa bertanggung jawab untuk menemukan kebenaran dari sebuah hadis yang didengarnya. Ia mengaku khawatir tak akan cukup umur bila tak segera membuktikannya. Begitu banyak kejadian luar biasa yang dialami oleh para ulama saat mereka menuntut ilmu. Bahkan, adakalanya peristiwa yang dialami para ulama itu di luar kemampuan nalar manusia. Peristiwa yang mereka hadapi pun cukup beragam. Kadang kala, berupa kejadian fisik, bisa pula nonfisik. Beragam peristiwa dalam kehidupan dicatat oleh para ulama melalui karya-karya mereka. Kisah-kisah tentang pengalaman dan peristiwa yang dialami para ulama, seperti kisah perjalanan Jabir dari Hijaz menuju Syam, tertuang secara apik dalam sebuah kitab yang ditulis oleh Abdul Fattah Abbu Ghaddah. Dalam kitabnya, Abu Ghaddah mengangkat peristiwa dan pengalaman hidup para ulama. Boleh jadi, tema yang diangkat ulama dari tanah Arab itu belum pernah disentuh oleh sejumlah penulis, bahkan ulama salaf zaman dulu sekalipun. Melalui kitabnya yang sederhana itu, Abbu Ghaddah berupaya menggambarkan keteladanan dan ke sungguhan para ulama pada zaman dulu dalam mencari ilmu. Harapannya, tentu saja agar dicontoh generasi Muslim di era modern ini. “Apa gunanya mereka para ulama bersusah payah?” tanya Abu Ghaddah retoris dalam karyanya itu. Ia pun melakukan penelusuran. Berdasarkan pembacaannya, banyak kisah kegigihan ulama salaf yang membuatnya takjub. Mereka sangat inspiratif. Rela bersusah payah Selain menceritakan kisah perjalanan Jabir Abdullah, Abu Ghaddah juga mengutip cerita Ali bin al-Hasan bin Syaqiq. Ulama ini menuturkan perjuangannya saat menimba ilmu kepada sang guru yang bernama Abdullah bin al-Mubarok. Ali mengungkapkan, pada masa dirinya sebagai murid sering kali ia tak tidur pada malam hari. Pernah suatu ketika, sang guru mengajaknya ber-muzakarah ketika malam di pintu masjid. Padahal, saat itu cuaca sedang tidak bersahabat. Udara dingin menusuk tulang. Ia bersama sang guru berdiskusi sampai waktu fajar tiba, tepat saat muazin mengumandangkan azan subuh. Ada pula kisah Abdurahman bin Qasim al-Utaqa al-Mishr, seorang sahabat Malik dan Laits. Tiap kali menemukan persoalan dan hendak mencari jawaban, dia mendatangi Malik bin Anas tiap waktu sahur tiba. Agar tak kecolongan, Ibnu al-Qasim tiba sebelum waktu sahur. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Tak jarang, ia membawa bantal dan tidur di depan rumah sang guru. Bahkan, pernah suatu kali karena terlalu lelap tidur, Ibnu al-Qasim tidak menyadari bahwa Malik telah keluar rumah menuju masjid. Suatu ketika, kejadian itu terulang sampai pembantu Malik menendangnya dan berkata, “Gurumu telah keluar meninggalkan rumah, tidak seperti kamu yang asyik tertidur!” Seorang hakim terkemuka dari Mesir, Abdullah bin Lahiah, punya kisah tersendiri. Ia dikenal sebagai ahli hadis yang banyak mempunyai riwayat. Pada 169 H, ia tertimpa musibah. Buku-buku catatannya terbakar. Peristiwa ini memilukan hati Ibnu Lahiah. Betapa tidak, akibat kejadian itu, ingatan dan kekuatan hafalan hadisnya mulai berkurang. Sejak saat itu, banyak terdapat kesalahan dalam keriwayatannya. Sebagian pakar dan ahli hadis menyimpulkan, riwayat-riwayat yang diperoleh dari Ibnu Lahiah sebelum peristiwa terbakarnya buku-buku itu dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan riwayat yang diambil dari Ibnu Lahiah pascamusibah tersebut. Merasa prihatin dengan kejadian itu, al-Laits bin Sa'ad al-Mishri memberikan uang sebesar dinar kepada Ibnu Lahiah. Namun, seperti halnya pandangan para ulama, uang dalam nominal berapapun tak dapat menggantikan catatan-catatan ilmu yang telah lenyap.
Jikamenemukan faidah (ilmu) baru beliau tulis dalam kertas tersendiri hingga terkumpul suatu pokok bahasan tertentu. Bersama Ilmu hingga Menjelang Ajal Abu Zur'ah ar-Raziy ketika menjelang ajal dijenguk oleh sahabat-sahabatnya ahluk hadits. Mereka mengisyaratkan hadits tentang talqin Laa Ilaha Illallah. Hingga Abu Zur'ah berkata,
Menuntut ilmu adalah salah satu aktivitas kehidupan yang dianjurkan oleh syariat dengan anjuran yang tegas. Sebagai bukti ketegasannya, umat manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa batasan dimensi waktu dan tempat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Tuntutlah ilmu semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang kuburan”. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”. Dua hadits Nabi di atas secara tersirat menggambarkan akan begitu pentingnya aktivitas menuntut ilmu itu. Hadits pertama memberi pemahaman bahwa tiada batasan waktu dalam menuntut ilmu. Atau dengan istilah lain tiada kata terlambat untuk mendapatkan ilmu Allah yang membahari itu. Sementara hadits kedua menekankan pemahaman tentang dimensi tempat, artinya aktivitas menuntut ilmu sama sekali tak terbatas oleh dimensi tempat. Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda demikian saat beliau berada di kota Madinah yang saat itu. Sebab, di tempat itulah Islam tumbuh dan berkembang. Kendati demikian, saat memerintahkan umatnya menuntut ilmu Rasulullah shallahu alaihi wa sallam masih menyebutkan negeri China. Mengapa? Untuk menegaskan bahwa mencari ilmu walau sejauh apa pun—bahkan sampai ke China—tetap harus dilakukan. Namun, menuntut ilmu tidaklah sama dengan mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya pulang. Pencari kayu bakar memiliki kebebasan untuk keluar-masuk hutan kapan saja dan mengumpulkan kayu apa saja dan sebanyak mungkin. Akan tetapi seorang penuntut ilmu memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang dikenal dengan adãb al-muta’allim. Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, yang hidup di abad kelima hijriah, dalam kitabnya Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau yang lumrah dikenal dengan Mafãtîh al-Ghaib, memiliki kajian yang sangat mendalam dan menakjubkan saat menafsirkan surah al-Kahfi ayat 66 yang menceritakan bagaimana Nabi Musa sebelum berguru kepada Nabi Khidir alaihima as-salam. Dari firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا Artinya Musa berkata kepadanya Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?” Baca juga Al-Imam Fakhruddin ar-Razi berhasil memunculkan dua belas adab atau tata karma dalam menuntut ilmu. Namun dalam tulisan ini ada tiga poin adab yang disatukan pembahasannya dengan poin adab yang lain. Sehingga yang tercantum dalam tulisan ini hanya sembilan adab. Di antaranya adalah 1. Mengabdi dan bersikap tawadhu’ rendah hati terhadap guru Dari kisah Nabi Musa yaitu saat menyampaikan maksud bahwa beliau hendak ikut kepada Nabi Khidir dengan kalimat هل أتّبعك bolehkah aku mengikutimu memberikan sebuah teladan baik sebagai bentuk adab kepada seorang guru. Artinya seharusnya seorang murid sebelum menimba ilmu dari gurunya agar meminta izin terlebih dahulu dengan cara mengikrarkan kesediaannya untuk ikut dan mengabdi terhadap sang guru. Dan itu adalah sebentuk ketawadukan atau sikap rendah hati yang begitu agung dari seorang murid. Dan melalui kalimat أتّبعك ar-Razi memunculkan satu kesimpulan bahwa dalam menuntut ilmu seorang murid harus ikut kepada gurunya secara kafah, tanpa syarat dan ketentuan apa pun. Terbukti saat prosesi permintaan izin untuk ikut dengan Nabi Khidir, Nabi Musa tidak menyertakan syarat apa pun. 2. Menyatakan diri sebagai murid yang tak tahu apa-apa Dalam menuntut ilmu seorang murid dilarang keras untuk menyanjung dirinya, bersikap angkuh, atau menampakkan kepintarannya di hadapan sang guru guna menunjukkan bahwa dirinya telah menguasai satu atau beberapa bidang keilmuan tertentu. Melainkan sebagai bentuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, seorang murid harusnya menampakkan bahwa ilmu yang dimilikinya sangatlah dangkal dan tak dalam, sekaligus memuji sang guru sebagai seorang cendekiawan dengan wawasan yang tinggi. Sehingga menjadi suatu pendorong kuat untuk memperoleh bimbingan intelektual dari sang guru yang wawasan intelektualnya membahari itu. 3. Ketidakbolehan memiliki banyak permintaan kepada guru Termasuk adab menuntut ilmu, seorang murid tak ubahnya bagai orang fakir yang mengemis meminta harta kepada seorang yang kaya raya. Artinya seorang pengemis tidak mungkin meminta seluruh harta atau separuh dari harta yang dimiliki oleh orang kaya tersebut. Melainkan ia hanya meminta nol koma sekian persen saja dari persentase seluruh harta si kaya. Begitu juga seorang murid kepada gurunya. Sang murid tidak diperkenankan untuk meminta banyak dari ilmu sang guru. Pendek kata, sebagai murid yang berakhlak mulia seharusnya agar tidak meminta kepada sang guru dalam hal keilmuan untuk dijadikan sealim gurunya atau bahkan melebihi kealiman sang guru. Tentu menyalahi tata karma ketika si pengemis meminta harta berlimpah kepada seseorang agar memiliki kekayaan yang sama dengan orang yang dimintai itu. Kendatipun demikian, sebagai guru yang baik dan profesional, pasti memiliki cita-cita yang luhur untuk para anak didiknya. Yaitu bagaimana setiap anak didiknya mampu melebihi keilmuan dirinya. 4. Mengakui bahwa semua ilmu datangnya dari Allah Adab selanjutnya adalah bertitik fokus pada pemantapan hati seorang murid bahwa dalam menuntut ilmu sang murid harus meyakini sepenuhnya bahwa seluruh ilmu datangnya dari Allah subhanhu wa ta’ala. Bahkan termasuk ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Hal ini al-Imam Fakhruddin ar-Razi mengkajinya melalui kalimat مما علّمت sebagian dari ilmu yang diajarkan kepadamu. Jadi dalam konteks ini, Nabi Musa meminta kepada Nabi Khidir agar beliau berkenan mengajarkan sebagian ilmu yang diajarkan Allah kepadanya. Adab semacam ini lebih membuka terhadap kasih sayang seorang guru kepada muridnya. Sehingga ia berkenan untuk mengajarkan dan membimbing sang murid tersebut. 5. Meminta petunjuk dan bimbingan dari guru Sebagaimana telah maklum bersama bahwa tujuan agung dari belajar dan menuntut ilmu adalah menjaga diri secara khusus dan umat manusia pada umumnya agar tidak terperosok ke dalam lubang kesesatan dan kehancuran. Akan tetapi, hanya dengan ilmu, seseorang tidak akan mampu mengubah ajakan kesesatan itu menjadi spirit kebaikan kecuali dengan petunjuk dan bimbingan dari seorang guru. Itulah hikmah dari Firman Allah subhanahu wa ta’ala ممّا علّمت رشدا. Jadi dalam penggalan ayat tersebut terdapat kalimat علّمت yang merepresentasikan makna ilmu’ yang disandingkan dengan kata الرشد petunjuk. Dapat disimpulkan bahwa termasuk adab mulia dalam menuntut ilmu yaitu seorang murid tidak hanya meminta ilmu kepada gurunya melainkan juga memohon petunjuk, nasihat dan arahan ke jalan yang benar. Sehingga tujuan pensyariatan menuntut ilmu tersebut tercapai. Karena banyak umat manusia terjerumus ke jalan yang salah bukan karena tidak tahu bahwa itu salah. Tetapi karena tidak ada yang memberi nasihat dan dorongan agar tidak meniti titian kesesatan tersebut. 6. Ketidakbolehan menentang dan membantah apa yang dilakukan guru Telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa mengabdi adalah salah satu cara merealisasikan adab saat menuntut ilmu, yang dimana dalam mengabdi kepada guru ada beberapa hal fundamental yang sekaligus juga menjadi tata krama dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah taslim menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang guru. Hal semacam ini telah menjadi tradisi di pesantren-pesantren salaf di Indonesia. Dalam hal pernikahan misalnya, baik santriwan maupun santriwati yang telah taslim kepada seorang kiai atau pengasuh sebuah pesantren, tidak perlu sibuk mencari pasangan hidupnya. Karena mereka menunggu keputusan sang kiai tentang kapan dan dengan siapa mereka akan dinikahkan. Pola pikir yang digunakan sangatlah sederhana, karena wali santri atau orang tua dari santri yang bersangkutan telah memasrahkan putra-putrinya dengan cara menyerahkannya kepada sang kiai, maka dengan begitu, sampai dalam hal pernikahan pun juga menunggu keputusan sang kiai. Ketidakbolehan menentang dan membantah pilihan sang kiai adalah termasuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, sampai dalam hal penentuan jodoh sekalipun. 7. Mencari ilmu pengetahuan tanpa perhitungkan status sosial Termasuk pelajaran yang dapat kita petik dari kisah perjalanan nyantri-nya Nabi Musa kepada Nabi Khidir ialah bahwa menuntut ilmu tidak boleh memperhitungkan status sosial. Dalam hal ini kata mutiara “أنظر ما قال ولا تنظر من قال” perhatikanlah apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan yang dituturkan oleh bab al-ilmi sayidina Ali karramallahu wajhah adalah yang paling tepat untuk mengungkapkan substansi dari pembahasan dalam poin ini. Nabi Musa 'alaihissalam dalam perjalanan nyantri-nya tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan status sosial beliau sebagai nabi kaum Bani Israil. Beliau tetap menjunjung tinggi akhlak dan ketawadukan beliau kepada sang guru. Begitu juga gurunya, Nabi Khidir 'alaihissalam. Sang guru bukannya tidak tahu bahwa yang datang menemui beliau dan memintanya menjadi guru adalah seorang nabi Bani Israil, sang Kalîmullah, melainkan karena sang guru paham bahwa kebenaran tidak mesti diberikan kepada orang dengan status sosial yang tinggi, akan tetapi kebenaran dianugerahkan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. 8. Mondok untuk mengabdi dan kemudian mengaji Kajian al-Imam Fakhruddin ar-Razi selanjutnya adalah soal manajemen waktu. Seorang thâlib al-ilmi pencari ilmu tatkala berguru, sebaiknya pertama kali yang ia lakukan adalah mengabdi kepada sang guru, baru kemudian mengaji dan menimba ilmu dari gurunya. Hal ini kerap diistilahkan dengan الخدمة قبل العلم mengabdi sebelum mengaji. Kajian ini disimpulkan ar-Razi dari penggalan ayat هل أتّبعك على أن تعلّمني apakah aku boleh mengikutimu agar engkau dapat mengajarkanku... Dalam penggalan ayat tersebut penyebutan أتّبعك yang menjadi representasi dari makna mengabdi’ disebutkan lebih dahulu dari pada kalimat أن تعلّمني yang merepresentasikan makna mengaji’. Sehingga disimpulkan oleh ar-Razi bahwa termasuk adab menuntut ilmu adalah mendahulukan pengabdian terhadap sang guru sebelum mengaji dan menimba ilmu darinya. 9. Belajar harus untuk ilmu bukan yang lain Adab menuntut ilmu yang terakhir adalah berkenaan dengan niat dan tujuan menuntut ilmu. Sebagai penuntut ilmu harus mampu memperbaiki niat dan tujuan dalam menuntut ilmu. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه Artinya "Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya akan memperoleh ganjaran dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena harta atau kemegahan dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. HR. Bukhari-Muslim. Nasihat terbaik ar-Razi kepada para penuntut ilmu yang tersirat dalam Mafatih al-Ghaib-nya yaitu agar jangan sampai aktivitas mulianya ternodai dengan niat dan tujuannya sendiri. Menuntut ilmu jangan sekali-kali diniatkan sebagai ladang mencari harta dan tahta di masa mendatang. Wallahu a’lam. Ahmad Dirgahayu Hidayat, Mahassantri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur; Mahasiswa Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo

Parasahabat mengatakan pembelajaran yang dominan itu adalah akidah dulu. Mereka mengatakan, "Beruntung sekali kita belajar ilmu setelah keimanan." Jadi, Ustadz Muhammadun berpendapat bahwa adab dan ilmu itu dilakukan secara berbarengan atau bersamaan. Ilmu dapat diakses dengan mudah, bagaimana adab terhadap ilmu?

Jemaah haji padati Jabal Rahmah. ©REUTERS/Zohra Bensemra - Abdullah bin Abbas merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang ’gila’ ilmu pengetahuan. Dia tak pernah bosan menggali ilmu sejak usia muda. Baca Alquran di sini. Umar bin al-Khaththab bahkan menyebutnya sebagai pemuda yang matang, mempunyai lisan yang gemar bertanya dan hati yang cerdas. Abdullah bin Abbas adalah sepupu Rasulullah. Dia anak dari Abbas bin Abdul-Muththalib dan Ummu al-Fadl Lubaba. Ibnu Abbas lahir tiga tahun sebelum Nabi Muhammad hijrah. Begitu anak muda dari Bani Hasyim ini lepas dari gendongan ibunya, dia langsung menyertai Rasulullah. Ibnu Abbas selalu berada di samping Nabi Muhammad, baik saat salat maupun ketika melakukan safar. Ketika Rasulullah meninggal dunia, Ibnu Abbas mengarahkan dayanya untuk menggali ilmu dari para sahabat Nabi. Dia mulai belajar dan berguru kepada mereka. Suatu ketika, Ibnu Abbas mendengar sahabat Nabi Muhammad menyampaikan hadis. Tak menunggu lama, dia langsung mendatangi rumah sahabat tersebut di waktu istirahat siang untuk belajar. Ibnu Abbas membentangkan kainnya di teras pintu rumah sahabat Nabi. "Angin beri hembus membawa debu menyapu tubuhku. Kalau aku ingin, maka aku bisa meminta izin kepadanya dan dia pasti memberikan izin. Aku melakukan hal itu agar jiwanya rela," kata Ibnu Abbas dikutip dari buku Jejak Perjuangan dan Keteladanan Sahabat-sahabat Nabi yang ditulis Abdurrahman Ra'fat dari 2 halaman Ibnu Abbas tak mau diperlakukan istimewa saat menuntut ilmu, meskipun dia sepupu Rasulullah. Menurutnya, guru harus didatangi bukan sebaliknya. "Jika yang bersangkutan keluar dan dia melihatku dalam kondisi demikian, maka dia berkata, 'Wahai sepupu Rasulullah, apa yang membuatmu datang? Mengapa engkau tidak memintaku untuk datang?' Maka aku menjawab, Aku lebih patut untuk datang kepadamu, karena ilmu itu yang seharusnya didatangi, bukan mendatangi," ujarnya. Usaha Ibnu Abbas mencari ilmu membuahkan hasil. Dia akhirnya mencapai derajat keilmuan tertinggi yang membuat orang-orang tercengang. Setelah mencapai derajat keilmuan seperti yang diharapkannya, Ibnu Abbas mengubah dirinya menjadi seorang pengajar bagi masyarakat. Rumahnya menjadi sebuah universitas bagi kaum Muslimin. Salah seorang murid Ibnu Abbas menceritakan, universitas Ibnu Abbas dipenuhi penuntut ilmu. Orang-orang bahkan berdesak-desakan di jalan menuju ke rumah Ibnu Abbas. "Mereka menutup jalan tersebut bagi orang lain, aku masuk kepadanya, aku menyampaikan kepadanya bahwa orang-orang berjejal-jejal di pintu rumahnya." [rnd]Baca jugaKisah Nabi Isa, dari Kelahiran hingga Mukjizatnya yang Perlu DiketahuiKisah Abdullah bin Mas'ud, Sahabat Nabi Punya Suara Merdu Saat Baca AlquranSejarah Munculnya Azan Sebagai Penanda Salat & Mimpi 2 Sahabat RasulullahKisah Perang Badar, dari Penyebab hingga Kemenangan Umat Islam di Bulan RamadanMengunjungi Situs Kerto, Saksi Bisu Kejayaan Mataram Islam yang Hampir Tak BersisaKisah Abu Dzar Al-Ghifari, Tolak Bantuan Penguasa dan Pilih Hidup Sederhana
Ketikaorang orang telah bubar, para sahabat Sufyan mengatakan, "Kami melihatmu melakukan sesuatu yang mengherankan." Sufyan menjawab, "Orang ini adalah orang yang memiliki kedudukan dalam ilmu. Seandainya aku tidak bangkit berdiri karena ilmunya, aku tetap akan berdiri karena usianya.
JAKARTA — Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan. Kesungguhan dalam melaksanakan kewajiban ini diperlihatkan oleh para sahabat Rasulallah SAW. Salah seorang di antaranya adalah Ibnu Abbas. Ibnu Abbas adalah putera dari paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, dan ibunya bernama Ummul Fadl Lababah binti Harits, saudari Ummul Mukminin Maimunah. Di rumah pamannya ini, Ibnu Abbas terkadang menginap agar dapat belajar langsung dari Rasulallah. Sejak kecil, Ibnu Abbas memang gemar menuntut ilmu. Suatu waktu Rasulullah SAW mendoakan Ibnu Abbas, “Ya Allah, berilah ia pengertian dalam bidang agama dan berilah ia pengetahuan takwil tafsir.” Mendapat keberkahan doa Rasulullah ini, akhirnya Ibnu Abbas pun dikenal sebagai seorang ahli tafsir. Selain itu Ibnu Abbas juga banyak meriwayatkan hadits, yakni terbanyak kelima setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Ummul Mukminin Aisyah. Setelah Rasulullah wafat, kesungguhan belajar Ibnu Abbas tidak kendur. Ia terus menimba ilmu dari para sahabat yang masih hidup. Seperti suatu saat beliau pernah mendatangi seorang sahabat di waktu siang untuk mendengar hadits darinya. Namun ternyata sahabat tersebut sedang beristirahat. Ibnu Abbas lalu menunggu di depan pintu hingga ketiduran dan mukanya terkena debu. Ketika sahabat tersebut membuka pintu, maka ia terperanjat mengetahui kehadiran Ibnu Abbas. Lalu ia berkata, “Wahai anak paman Rasulallah, apa yang membuat engkau datang? Mengapa engkau tidak mengutus salah seorang agar aku mendatangimu?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, akulah yang lebih berhak mendatangimu. Telah sampai hadits kepadaku darimu bahwa engkau mendengar dari Rasulallah. Aku ingin mendengar langsung darimu.” Dikisahkan pula bahwa suatu waktu Ibnu Abbas melihat Zaid bin Tsabit hendak menaiki tunggangannya. Maka Ibnu Abbas pun berdiri di depannya, lalu memegang tunggangan tersebut agar Zaid naik dan mengambil tali kekangnya. Zaid berkata kepadanya, ”Tinggalkan itu, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu Abbas menjawab, “Demikian kami diperintah untuk memperlakukan menghormati ulama kami.” Zaid kembali berkata, “Keluarkan tanganmu.” Lalu Ibnu Abbas mengeluarkan tangannya, dan Zaid pun menciumnya seraya berucap, “Demikian kami diperintah untuk memperlakukan ahli bait Rasulallah.” Semoga para pecinta ilmu senantiasa meneladani kesungguhan para generasi terdahulu dalam menuntut ilmu. Supaya berbuah keyakinan yang kuat kepada Allah, dan rahmat-Nya tercurah kepada para pecinta ilmu. Aamiin.
Kisahyang termuat dalam kitab al-Adab al-Mufradkarya Imam Bukhari itu, menggambarkan betapa seriusnya para ulama pada zaman dulu dalam mengejar ilmu dan kebenaran. Jarak yang jauh tak menjadi halangan. Jabir merasa bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dari sebuah hadis yang diketahuinya.
loading...Al-Habib Quraisy Baharun, pengasuh Ponpes Ash-Shidqu Kuningan Jawa Barat. Foto/Ist Banyak riwayat menceritakan kisah para Sahabat Nabi dalam mengamalkan ilmu yang disampaikan Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Ketika menerima petuah dari Nabi , para sahabat menjadikannya sebagai amalan istimewa yang dikerjakan secara istiqamah. Baca Juga Arti Cinta Bagi Para Sahabat Nabi, Yuk Ambil Hikmahnya!Di antara kisah-kisah tersebut diceritakan oleh Al-Habib Quraisy Baharun dalam tausiyahnya. Seperti kisah Fatimah radhiyallahu'anha putri Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ketika Fatimah curhat kepada Nabi صلى الله عليه وسلم untuk meminta pembantu, lantas Nabi memberinya petuahأولا أدلك على ما هو خير لك من خادم؟! إذا أويت إلى فراشك تسبحين الله تعالى ثلاثاً وثلاثين، وتحمدينه ثلاثاً وثلاثين، وتكبرينه أربعاً وثلاثين"Maukah kamu saya beritahu suatu hal yang lebih baik dari pembantu? Jika kamu beranjak tidur bertasbihlah 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 34 kali. Setelah mendengar pesan ini, Sayyidina Ali radhiyallahu'anhu suami Sayyidah Fathimah mengatakan فما تركتها منذ سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلمSemenjak saya mendengarnya dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم tak pernah sekalipun saya ketika malam hari perang Sifin, yaitu peperangan yang sangat terkenal, yang tentu saja kondisi sedang berkecamuk. Namun, Ali tidak melupakan pesan Nabi yang mulia ini. Sayyidina Ali berkata ولا ليلة الصفين"Sampaipun malam hari perang Sifin, dzikir ini tidak aku tinggalkan!"Kisah berikutnya diriwayatkan oleh Dawud bin Abu Hindun, dari Nu'man bin Salim, dari Amr bin Aus beliau menceritakan 'Anbasah bin Abu Sufyan menyampaikan sebuah hadis saat beliau mengalami sakit yang beliau meninggal dunia karena penyakit tersebut. "Aku mendengar Ummu Habibah berkata, Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabdaمَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً في يوم وليلة بني لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ"Siapa yang mengerjakan salat sebanyak 12 rakaat salat sunnah Rawatib, maka akan Allah bangunkan untuknya rumahnya di surga."Mendengar pesan agung ini, Ummu Habibah mengatakan, "Semenjak aku mendengar pesan ini dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم, tak pernah sekalipun aku tinggalkan!" Baca Juga Kemudian sikap Ummu Habibah dicontoh oleh 'Anbasah. "Sejak aku mendengar pesan ini dari Ummu Habibah, tak pernah sekalipun aku tinggalkan!"Terus diikuti oleh para perawi setelah beliau, Amr bin Aus "Semenjak aku mendengar pesan ini dari 'Anbasah, tak pernah sekalipun aku tinggalkan!"Nu'man bin Salim mengatakan, "Sejak aku mendengar pesan ini dari Amr bin Salim, tak pernah sekalipun aku tinggalkan!"HR. MuslimKisah senada dari sahabat Abu Darda' radhiyallahu'anhu, berliau pernah berkataأوصاني حبيحبي صلى الله عليه وسلم بثلاث لن أدعهن ما عشت"Kekasihku shallallahu 'alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku 3 hal, yang tak akan aku tinggalkan selama hidupku. Kemudian beliau menyebutkan wasiat-wasiat itu. HR. Muslim Kisah lain diceritakan oleh Habib Quraisy yaitu sahabat belia yang bernama Umar bin Abi Salamah radhiyallahu'anhu, beliau sendiri bercerita pc5AFYI.
  • 57ilswcc36.pages.dev/209
  • 57ilswcc36.pages.dev/227
  • 57ilswcc36.pages.dev/58
  • 57ilswcc36.pages.dev/42
  • 57ilswcc36.pages.dev/440
  • 57ilswcc36.pages.dev/457
  • 57ilswcc36.pages.dev/49
  • 57ilswcc36.pages.dev/496
  • kisah para sahabat dalam menuntut ilmu